Pernah merasa seperti baterai di ponsel yang tak pernah penuh, padahal baru dipakai beberapa jam? Aku juga. Ada masa di mana aku bangun, menyeret diri ke kantor, pulang dengan kepala berat, lalu mengulang rutinitas seperti mesin. Tulang-tulang lelah, hati pun ikut ngos-ngosan. Artikel ini bukan teori self-help yang terdengar muluk, melainkan curhat kecil dari perjalanan belajar mencintai diri setelah lelah—langkah-langkah sederhana yang aku coba satu per satu sampai menemukan ketenangan yang tidak selalu dramatis, tapi nyata.
Mengakui lelah: apakah itu benar-benar capek atau hanya bosan?
Satu hal yang kupelajari adalah membedakan antara capek fisik, capek mental, dan kebosanan. Suatu sore, setelah menumpuk meeting tanpa jeda, aku pulang dan malah menangis ketika menekan tombol microwave. Tidak karena panasnya, tapi karena akumulasi semua hal kecil yang tidak sempat kukatakan: “Aku tidak bisa ikut, aku tidak punya energi hari ini.” Itu lucu sekaligus menyedihkan—aku menangis di depan tumpukan piring sambil membakar roti. Konyol, kan?
Kenapa penting mengakui? Karena kalau tidak, kita akan terus menambal lubang dengan kopi atau scrolling tanpa henti. Mengaku capek adalah langkah pertama yang memberi izin untuk berhenti sejenak tanpa rasa bersalah.
Apa arti mencintai diri sendiri—apa itu tindakan kecilnya?
Mencintai diri untukku bukan soal membeli barang mahal atau liburan panjang (meski itu boleh). Lebih sering, itu soal membiarkan diri melakukan hal kecil yang menenangkan. Misalnya, menutup laptop pada pukul enam, walau masih ada email yang menggoda. Atau bilang tidak ke janji yang membuat jantung berdebar karena beban.
Aku pernah membaca sesuatu yang sederhana tapi menohok: self-love itu membalas pesan dari diri sendiri dengan kebaikan. Kalau diri sendiri kirim pesan “tidak kuat hari ini”, balas dengan “oke, kita istirahat”. Kalau perlu referensi ringan yang bikin hati hangat, pernah kepoin juga tulisan-tulisan ringan yang menenangkan di christinalynette, yang kadang memberiku ide ritual kecil untuk merawat diri.
Ritual kecil yang benar-benar membantu
Aku mulai dengan hal yang mudah: napas. Serius, sebelum semua teknik canggih, tarik napas dalam-dalam sampai perut terasa naik, tahan dua detik, hembus pelan. Ulang tiga kali. Entah kenapa, otot bahu yang tadinya kencang terasa mundur sedikit setelah itu. Lalu ada rutinitas sore: segelas air lemon, membuka jendela agar suara hujan (kalau sedang turun) masuk, dan memutar playlist lagu-lagu lama yang membuat aku tertawa sendiri karena ingat masa-masa lain.
Ada juga ritual lucu: menari konyol selama 2 menit di dapur sambil mengaduk mie instan—bukan untuk sehat, tapi untuk mengusir kepenatan. Reaksinya? Anjing tetangga menatapku seolah berkata, “Pemilikmu bermasalah,” dan aku tertawa sampai mata basah. Ritual lain yang sering aku lakukan adalah menulis satu hal baik tentang hari itu di buku kecil sebelum tidur. Tidak perlu panjang: “Hari ini aku memasak tanpa membakar” cukup untuk memberi sinyal ke otak bahwa hari itu punya momen positif.
Langkah kecil ke depan: menetapkan batas dan memberi ruang
Mencintai diri juga berarti berani mengatakan tidak dan menetapkan batas. Dulu aku merasa harus selalu tersedia. Sekarang, aku belajar menjadwalkan waktu kosong di kalender seperti janji penting lain—dan menaatinya. Kalau seseorang marah karena aku tidak bisa hadir, itu masalah mereka, bukan beban batinku.
Terapi atau ngobrol dengan teman juga membantu. Aku punya teman yang gaya curhatnya seperti tukang reparasi: sederhana, langsung ke titik, dan kadang ngasih analogi lucu yang bikin aku mikir lagi. Selain itu, melakukan hal kecil yang memberi rasa kontrol—merapikan meja kerja selama lima menit, mengganti tanaman yang layu, atau menyiapkan sarapan yang aku suka—membawa perbedaan besar.
Akhir kata, perjalanan mencintai diri itu bukan sprint. Ini lebih seperti berjalan sore pelan sambil makan es krim: ada rasa nikmat, ada waktu untuk menoleh ke kanan-kiri, dan sesekali menjatuhkan sedikit di baju tanpa panik. Kalau hari ini kamu masih merasa lelah, beri izin pada diri untuk berhenti. Nanti, kita jalan lagi pelan-pelan—dengan napas yang lebih panjang dan senyum yang tidak dipaksakan.