Kenapa Aku Pilih Jalan Lambat untuk Mencintai Diri Sendiri

Kenapa Aku Pilih Jalan Lambat untuk Mencintai Diri Sendiri

Aku pernah berpikir cinta diri itu harus dramatis. Seperti adegan film di mana tokoh utama memutuskan semuanya sekaligus: pindah kota, potong rambut ekstrim, dan memulai rutinitas pagi yang penuh afirmasi. Nyatanya, untukku, cinta diri datang berbeda. Pelan. Pelan seperti secangkir teh hangat di pagi hujan, bukan espresso yang menukik deras ke dada.

Awal yang Lambat, Bukan Malas

Dulu aku merasa lambat itu sinonim dengan malas. Kalau teman-teman sudah mencapai hal-hal besar, aku masih berkutat dengan kebiasaan lama—menunda olahraga, sulit bilang tidak, terus makan semangkuk mie instan saat bosan. Tapi perlahan ada momen-momen kecil yang mengubah pandanganku. Seperti ketika aku berhasil bangun sebelum alarm hanya untuk merapikan tempat tidur; kedengarannya sepele, tapi rasanya seperti kemenangan kecil yang bikin hari jadi lebih ringan.

Aku mulai menghargai progres kecil. Bukannya menunggu momen transformasi kilat, aku memilih melakukan hal-hal sederhana secara konsisten. Menggosok gigi tanpa menunda, menutup media sosial sebelum tidur, memberi batas di pekerjaan yang tak penting. Progres itu tak selalu terlihat dari luar, tapi terasa di dalam. Ada ketenangan yang datang bersamaan dengan rutinitas yang dilakukan pelan tapi pasti.

Kenapa Tidak Langsung Saja?

Kebanyakan solusi cepat memang menggoda. “Ikuti 30-day challenge ini!” atau “Ubah hidupmu dalam 21 hari!”—semua terdengar menggairahkan. Tapi pengalaman mengajariku sesuatu: perubahan yang dipaksakan cepat seringnya berumur pendek. Aku pernah ikut program intens diet dan olahraga, semangat dua minggu, lalu burnout. Kembalinya ke kebiasaan lama terasa lebih pahit karena ada rasa gagal.

Aku memilih jalan lambat karena ingin perubahan yang tahan lama. Cara ini membuat aku punya waktu untuk belajar, mencoba, dan bahkan gagal tanpa merasa diruntuhkan. Dengan lambat, aku bisa menyelidik kenapa aku melakukan sesuatu. Kenapa aku makan ketika sedih? Kenapa aku takut bilang tidak? Proses refleksi itu tidak bisa dipalu cepat.

Santai, Tapi Tidak Santai Saja

Jalan lambat bukan berarti tidak berusaha. Ini lebih ke nuansa: usaha yang lembut, bukan memaksakan diri sampai putus. Aku masih menetapkan tujuan—kadang menulis setiap hari, kadang rajin jalan pagi tiga kali seminggu—tapi tujuan itu dipecah jadi langkah-langkah kecil. Kalau satu hari gagal, aku tetap memberi ruang tanpa menghakimi.

Ada kejutan kecil yang membantu: playlist lagu-lagu mellow saat pagi, buku catatan kecil untuk menulis tiga hal yang kubersyukur, bahkan aplikasi yang mengingatkan minum air. Detail-detail kecil ini seperti pasir yang menumpuk perlahan hingga membentuk fondasi kuat. Aku juga mulai membaca tulisan orang yang membagikan perjalanan serupa; salah satunya yang membuka mataku tentang pentingnya kelembutan pada diri adalah blog yang kutemukan secara nggak sengaja, christinalynette, isinya sederhana tapi mengena.

Perjalanan, Bukan Garis Lurus

Ada hari-hari di mana aku merasa mundur. Ada juga hari penuh tawa karena aku bisa berkata tidak pada sesuatu yang merugikan. Perjalanan mencintai diri itu seperti naik sepeda: kadang menanjak, kadang menurun, kadang berhenti untuk minum. Yang penting aku nggak buru-buru menyepelekan setiap langkah kecil itu.

Dan ya, ada efek samping yang menyenangkan: orang sekitar mulai merasakan perubahan. Teman yang dulu sering marah karena aku selalu terlalu menyesuaikan diri, kini bertanya, “Kamu kenapa sekarang lebih tenang?” Aku cuma tersenyum. Jawabanku sederhana: aku belajar bilang tidak. Bukan karena ego, tapi karena aku sadar energi juga perlu dijaga.

Kalau ditanya nasihat singkat: jangan paksa diri jadi versi yang sempurna dalam semalam. Cintai dirimu lewat kebiasaan kecil yang bisa kamu ulangi. Pilihlah ritme yang membuatmu bertahan, bukan yang bikin cepat puas lalu hilang. Jalan lambat itu bukan pelarian—itu cara agar langkahmu tetap ada sampai jauh ke depan.

Aku masih terus berjalan pelan. Masih ada hari ragu dan malam-malam overthinking. Tapi sekarang aku lebih sabar pada proses. Aku memberi ruang untuk bernafas, untuk menikmati secangkir teh, untuk memandang luka lama yang mulai membaik. Dan itu cukup. Cukup untuk membuatku bertahan dan terus belajar mencintai diri sendiri, sedikit demi sedikit.

Leave a Reply