Ada hari ketika aku memutuskan pergi sendirian. Bukan perjalanan jauh yang megah, hanya beberapa jam berkendara ke kota kecil di pinggir laut. Sekadar keluar dari rutinitas, membawa tas ransel yang ringan, dan menyisakan ruang untuk lebih banyak hening daripada barang. Aku menulis surat ini seperti bercerita pada diri sendiri, karena perjalanan itu ternyata mengajari sesuatu yang tak kuduga: bagaimana mencintai diri sendiri, perlahan dan tanpa drama.
Waktu menunggu kereta, aku punya banyak waktu untuk mendengar napas sendiri. Orang-orang sibuk dengan telepon, tapi aku memilih melihat keluar jendela. Pemandangan berubah-ubah, dan setiap pemandangan membuat aku bertanya: apa yang benar-benar aku mau? Kadang jawabannya sederhana; kadang berbelit. Pergi sendiri memaksa aku jujur tanpa alasan mencari persetujuan orang lain. Rasanya seperti menoleh ke cermin yang tidak menghakimi. Cermin itu hanya menuntut ketulusan.
Pada malam pertama, hujan turun pelan. Aku duduk di warung kecil, memesan secangkir kopi, dan membuka buku catatan. Menulis tentang ketakutan dan harapan terasa lega. Kutulis bahwa self-love bukan soal ritual mahal atau selfie dengan filter, melainkan kebiasaan kecil: memberi izin untuk istirahat, berkata tidak tanpa rasa bersalah, dan menerima ketidaksempurnaan. Perjalanan kecil ini memberi waktu untuk melatih kebiasaan itu.
Kota itu sederhana. Jalanan tak ramai, pedagang tahu namaku hanya karena aku sering tersenyum. Aku berbicara dengan pemilik warung yang sudah puluhan tahun memasak. Dia bercerita tentang hidupnya yang tak selalu mudah, tapi dia tak pernah lupa memberi waktu untuk membaca koran pagi sambil minum kopi. Cerita seperti itu membuatku sadar: hidup bukan lomba produktivitas. Hidup adalah kumpulan momen yang bisa kita hargai, termasuk yang sepele.
Ada pula sore ketika aku berjalan menyusuri pantai. Angin membawa aroma laut dan membuat pikiranku lebih ringan. Di situ aku melakukan sesuatu yang dulu tak pernah berani: mengatakan maaf pada diri sendiri. Maaf untuk pilihan yang menyakitkan, maaf karena pernah menilai terlalu keras, maaf karena bertahan di hal yang sudah usang. Mengucapkan kata maaf itu terdengar aneh, tapi entah kenapa setelahnya aku merasa sedikit lebih utuh.
Pulang dari perjalanan, aku membawa oleh-oleh kebiasaan baru: jeda. Tidak setiap hari harus penuh agenda. Aku belajar memberi batas—bukan karena ego, tapi karena menjaga energi. Aku mulai bangun sedikit lebih lambat akhir pekan, membuat sarapan tanpa tergesa, dan menolak undangan yang membuat stres tanpa merasa perlu menjelaskan panjang lebar. Hidup simplifikasi bukan berarti membosankan; malah sebaliknya, itu memberi ruang bagi hal-hal yang menumbuhkan cinta pada diri sendiri.
Saya juga mulai menata lingkaran pertemanan dan prioritas. Ada teman yang memang memberi energi, ada yang menguras. Mengurangi interaksi yang melelahkan bukan kejam; itu pelajaran mencintai diri. Dalam proses ini aku sering membaca blog dan cerita orang yang juga sedang belajar mencintai diri. Salah satu tulisan yang menginspirasi yang sempat kubaca adalah di christinalynette, yang menghadirkan narasi halus tentang perempuan dan ruang untuk dirinya sendiri. Itu seperti menemukan cermin lain yang menegaskan arah yang sama.
Kalau kamu ragu, mulai dengan perjalanan kecil. Dua hari, satu malam, kemana saja yang membuatmu nyaman. Bawa jurnal, atau hanya kamera ponsel untuk menangkap momen-momen biasa. Biarkan dirimu merasakan kebosanan, karena di sanalah sering muncul suara jujur dari dalam. Jangan paksakan pencerahan dramatis. Self-love tumbuh lewat pengulangan kecil: tidur cukup, makan tanpa merasa bersalah, berdiri untuk kebutuhan sendiri.
Aku masih belajar. Masih ada hari ketika rasa tidak cukup muncul lagi. Tapi sekarang aku punya bukti: aku bisa berhenti sejenak, menaruh sayang pada diri sendiri, dan melanjutkan langkah tanpa malu. Perjalanan kecil itu memberi keberanian untuk menulis surat ini—sebuah pengingat bahwa mencintai diri bukan tujuan yang monumental, melainkan rangkaian hari-hari sederhana yang kita pilih untuk merawat diri.
Jadi, kalau suatu hari kamu menemukan tas ransel, kunci motor, atau tiket kereta di meja, mungkin itu tanda. Ambil saja. Pergilah. Kemudian tulis surat untuk dirimu. Kau akan kaget betapa lembut jawabannya.
Sambil menatap kalender bulan ini, aku sadar bahwa perjalanan menuju diri sendiri bukan sekadar checklist.…
Aku dulu sering merasa hidup berjalan sendiri tanpa arahan. Pagi-pagi aku bangun dengan kekhawatiran berlapis:…
Menemukan Suara Diri di Tengah Kebisingan Di kota yang selalu bergemuruh dengan sirene, notifikasi, dan…
Ketika gue mulai menata gaya hidup sebagai sebuah perjalanan, hidup terasa lebih manusiawi. Self-love akhirnya…
Informatif: Membangun Cinta Diri dari Perjalanan Perjalanan hidupku terasa seperti jalan setapak di tepi pantai:…
Gaya Hidup yang Menginspirasi Perjalanan Menemukan Cinta Diri Gaya Hidup Sehari-hari yang Menggerakkan Cinta Diri…