Saat Aku Belajar Mencintai Diri di Tengah Perjalanan

Saat Aku Belajar Mencintai Diri di Tengah Perjalanan

Kenapa Self-Love Penting di Perjalanan Hidup (Serius, tapi Santai)

Aku ingat waktu pertama kali merasa benar-benar lelah—bukan cuma badan, tapi juga jiwa. Pindah kota, pekerjaan baru yang menuntut, dan ekspektasi yang selalu berbisik lewat notifikasi. Aku berpikir: kalau terus begini, kapan aku sempat bernapas? Jawabannya datang pelan: aku harus mulai memperlakukan diriku seperti teman baik, bukan seperti proyek yang harus sempurna.

Mencintai diri itu bukan soal narsis atau ego berlebihan. Ini tentang memberi ruang untuk kesalahan, memaafkan pilihan yang salah, dan tetap memberi pujian kecil saat hari terasa berat. Self-love menjadi bahan bakar saat perjalanan hidup penuh tanjakan itu terasa licin. Kalau mobil tanpa bensin, ya tetap di pinggir jalan, kan?

Secangkir Kopi dan Pelukan untuk Diri Sendiri (Gaya Ringan)

Sekarang ritual pagiku sederhana: kopi panas, jendela sedikit terbuka, dan lima menit tanpa gadget. Lima menit itu berharga. Aku bicara pada diri sendiri, bukan dengan suara superhero, tapi seperti bicara pada sahabat yang kedinginan—hangat, lembut, dan jujur.

Ada hari-hari aku gagal bangun tepat waktu. Ada hari-hari aku nangis karena rindu atau karena email yang bikin hidup pusing. Aku mulai menulis surat pendek untuk diri sendiri. Hanya tiga kalimat: “Kamu sudah baik hari ini. Minum air. Kamu boleh istirahat.” Sulit? Awalnya. Sekarang terasa seperti vitamin.

Oh, dan aku pernah merasa aneh kalau memesan satu porsi makanan untuk diri sendiri di kafe. Ada rasa bersalah kecil: “Kenapa makan sendiri?” Sekarang aku nikmati. Sendiri bukan berarti sepi. Sendiri bisa berarti berkawan dengan diriku sendiri.

Kalau Diri Sendiri Bisa Diajak Liburan, Pasti Dia Pilih Pantai (Nyeleneh)

Bayangkan kalau tubuh dan pikiranmu punya suara. Aku pernah berandai-andai: “Kamu mau ke mana?” “Ke pantai,” jawabnya, sambil minta sunscreen. Lucu? Iya. Efektif? Juga.

Kadang mencintai diri itu berarti bilang tidak pada rencana yang melelahkan. Kadang itu berarti bilang ya pada tidur siang panjang. Pernah juga berarti membiarkan diri pakai piyama sampai siang. Bukan karena bermalas-malasan, tapi karena aku sedang merawat baterai emosi.

Di perjalanan hidup ini, aku belajar membuat batas. Batas itu bukan tembok dingin, melainkan pagar kecil yang menjaga kebun hatiku. Kalau ada yang minta lebih dari yang aku punya, aku bilang, “Maaf, aku sedang mengisi ulang.” Jujur, orang biasanya mengerti. Kalau tidak, itu bukan urusanku untuk menyelesaikan semua rasa tidak nyaman dunia.

Sedikit Praktik, Banyak Hasil

Apa yang ku-lakukan tiap hari? Beberapa hal sederhana. Menulis tiga hal yang aku syukuri. Menjawab pesan dengan jujur—kadang butuh waktu, kadang langsung. Berjalan kaki 15 menit tanpa headset. Membaca tulisan-tulisan yang mengingatkanku bahwa aku nggak sendiri. Salah satunya artikel yang menginspirasi aku tentang bagaimana lembut pada diri sendiri bisa mengubah cara kita melihat dunia (christinalynette), iya, aku suka menyelipkan bacaan yang menenangkan.

Tentu, bukan setiap hari semua jalan mulus. Ada musim ragu, musim bingung, dan musim drama kecil. Tapi kini aku punya toolbox: napas panjang, teman yang bisa diajak curhat, dan ritual kecil yang membuatku tetap di jalur. Kadang cuma itu yang diperlukan untuk lanjut berjalan.

Penutup: Perjalanan Terus Berlanjut

Aku masih belajar. Mungkin selamanya. Belajar mencintai diri tidak seperti checklist yang dicentang sekali lalu selesai. Ini seperti merawat tanaman—kadang lupa siram, kadang terlalu banyak kasih pupuk, tapi perlahan tanaman tumbuh kalau kita konsisten. Begitu juga dengan kita.

Jika kamu sedang di perjalanan yang sama—lelah, ragu, atau sekadar butuh teman ngobrol—ketahuilah: memberi waktu dan kebaikan pada diri sendiri bukan egois. Itu kebutuhan. Minum kopimu. Tarik napas. Katakan pada dirimu, “Kamu cukup.” Lalu lanjut berjalan. Kita tidak harus sempurna. Cukup ada di sini, berusaha, dan tetap mencintai diri sedikit demi sedikit.