Hari Ketiga Menyayangi Diri Sendiri: Catatan Perjalanan yang Sederhana
Pagi itu aku sengaja bangun 15 menit lebih awal. Bukan karena ada janji penting. Hanya ingin melihat matahari masuk lewat jendela, menyeret secangkir kopi panas ke teras, dan memberi waktu pada diri untuk bernapas sebelum hari mulai menuntut. Ini hari ketiga dari “tantangan kecil” yang kusebut sendiri: menyayangi diri. Iya, terdengar manis dan sedikit klise. Tapi aku mulai tahu: hal-hal sederhana seringkali menaruh perubahan terbesar.
Hari pertama biasanya penuh semangat. Kamu beli buku catatan baru, pasang pengingat manis di telepon, dan bilang pada diri: “Kali ini aku serius.” Hari kedua? Masih oke. Tapi hari ketiga adalah ujian pertama. Kalau kita masih ingat untuk menepati janji kecil itu — membuat teh hangat, menolak tugas tambahan, atau bilang tidak pada rencana yang menguras energi — maka ada peluang kebiasaan baru lahir.
Itu bukan soal jumlah besar. Justru sebaliknya. Menyayangi diri seringkali dimulai dari keputusan-keputusan kecil yang konsisten. Menghargai diri tidak harus dramatis. Ia bisa berupa memberi jeda, mengizinkan badan lelah istirahat, atau memilih makanan yang membuat perut dan hati senang.
Saya punya daftar kecil ritual yang kubawa kemana-mana saat mood mulai turun. Tulisan tangan satu baris di pagi hari. Jalan kaki 10 menit tanpa headphone. Menyalakan lilin aroma yang sudah lama tidak dipakai. Menulis tiga hal yang membuatku bersyukur. Semua sederhana. Semua tampak biasa. Namun jika dilakukan terus-menerus, mereka mengubah cara aku bicara pada diri sendiri.
Saat di kafe, aku pernah membaca blog seseorang yang menulis tentang self-care dengan cara yang sangat realistis. Terkadang inspirasi datang dari tempat tak terduga — artikel yang mengajak kita untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Itu mengingatkanku pada tulisan-tulisan seperti yang kubaca di christinalynette, yang memberiku ide-ide praktis dan hangat tentang bagaimana menghadapi hari-hari yang rumit tanpa memalukan diri sendiri karena tidak ‘sempurna’.
Ada satu momen yang tidak akan kulupakan. Selama bertahun-tahun aku menekan perasaan takut dan kecewa. Semuanya tampak rapi di luar. Tapi suatu malam aku menangis sendirian di dapur. Bukan isak tangis berharap belas kasihan. Lebih seperti pelepasan yang sudah lama tertahan. Setelah itu, aku mulai bertanya: apa yang sebenarnya kulakukan untuk diri sendiri?
Jawabannya ternyata sederhana: aku mengabaikan sinyal-sinyal kecil. Aku menolak undangan ngobrol karena lelah, tapi tidak pernah bilang tidak ketika jadwal menumpuk. Aku tidak pernah minta bantuan karena takut merepotkan. Hari ketiga menyayangi diri adalah pengingat lembut bahwa mendengar tubuh dan perasaanmu bukanlah egois. Ia adalah dasar untuk tetap baik pada orang lain juga.
Jadi, apa yang kulakukan setelah hari ketiga? Aku membuat peraturan sederhana yang mudah diikuti: jangan menambah aturan yang membuat stres. Misalnya, jika aku ingin memulai meditasi, aku mulai lima menit saja. Jika ingin menulis jurnal, cukup satu paragraf. Kuncinya adalah konsistensi, bukan intensitas. Sedikit lebih sering, bukan lebih berat.
Aku juga belajar berbicara lebih lembut pada diri sendiri. Ketika gagal, aku tidak membuat drama. Aku bertanya, “Apa yang bisa kubuat lebih baik besok?” bukan “Kenapa aku begitu bodoh?” Mengubah nada bicara ini tidak cepat. Perlu latihan. Kadang tergelincir juga. Tapi setidaknya ada niat untuk bangkit tanpa menghakimi diri berlebihan.
Mungkin paling menantang adalah menerima bahwa menyayangi diri bukan tujuan yang bisa dicapai sekali dan untuk selamanya. Ia seperti bercocok tanam: ada musim subur, ada musim kering. Kita harus sabar, teratur menyiram, dan kadang mengganti tanah. Tapi percayalah, jika kita memberi perhatian sedikit demi sedikit, perubahan akan terlihat — bahkan dari kebiasaan yang paling sederhana sekalipun.
Akhirnya, hari ketiga ini mengajarkanku sesuatu yang sederhana sekaligus penting: menyayangi diri tidak rumit. Ia hanya perlu dimulai. Taruh cangkir kopi di tanganmu, duduk, dan berikan izin pada dirimu sendiri untuk bernapas. Lalu ulangi lagi besok. Dan besoknya. Itu saja, untuk sekarang.
Sambil menatap kalender bulan ini, aku sadar bahwa perjalanan menuju diri sendiri bukan sekadar checklist.…
Aku dulu sering merasa hidup berjalan sendiri tanpa arahan. Pagi-pagi aku bangun dengan kekhawatiran berlapis:…
Menemukan Suara Diri di Tengah Kebisingan Di kota yang selalu bergemuruh dengan sirene, notifikasi, dan…
Ketika gue mulai menata gaya hidup sebagai sebuah perjalanan, hidup terasa lebih manusiawi. Self-love akhirnya…
Informatif: Membangun Cinta Diri dari Perjalanan Perjalanan hidupku terasa seperti jalan setapak di tepi pantai:…
Gaya Hidup yang Menginspirasi Perjalanan Menemukan Cinta Diri Gaya Hidup Sehari-hari yang Menggerakkan Cinta Diri…